Bumi Yang Dijaga Desa

Sejatinya, penjaga dari bumi ini, tempat seluruh makhluk berada, adalah desa. Yang secara universal, desa bisa berarti organisasi atas antar komponen geografis atau ruang dan sosial-ekonomi-politik.

Spesifiknya, desa didefinisikan sebagaimana (pasal 1) UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan menurus pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tentu saja, diantara seluruh desa yang ada di negara ini, desa memiliki corak yang beragam. Pada tahun 2023 saja, terdapat 75.265 desa atau 83.971 desa dan kelurahan di seluruh Indonesia. Jika dilihat berdasarkan wilayah administratif, maka seluruh negeri ini habis dibagi oleh wilayah desa dan kelurahan.

Bahwa kepemilikan batas wilayah administratif desa, merupakan perwujudan dari apa yang ada di dalam batas-batas desa, seperti sumber-sumber agraria (sumber daya alam), sumber daya manusia, sosial budaya, ekonomi, dan politik.

Akhir-akhir ini, banyaknya kejadian bencana alam terjadi, menandakan semakin rentannya kondisi lingkungan saat ini. Banyaknya bencana alam tersebut ditengarai oleh trend perubahan iklim yang semakin mengkhawatirkan.

Isu perubahan iklim ini bukanlah isu sektoral yang menyasar pada golongan atau kelompok atau kewilayahan atau kelas tertentu. Melainkan isu tersebut merupakan isu global yang dampak negatifnya benar-benar nyata dan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat dimanapun berada.

Sebagai gambarannya, perubahan iklim yang mengakibatkan tidak menentu dan naiknya curah hujan mengakibatkan banyaknya terjadi longsor dan banjir di wilayah-wilayah pedesaan. Sebagai akibat turunannya, naiknya curah hujan tersebut secara langsung juga menaikkan faktor penghambat atau resiko bagi aktivitas ekonomi (pekerjaan) masyarakat di pedesaan.

Artinya faktor penghambat atau resiko yang meningkat tersebut, selain menaikkan kemungkinan gagal panen, untuk sebagian besar masyarakat pedesaan yang mengandalkan sumber kehidupan dari aktivitas sebagai petani dan nelayan, misalnya, menyebabkan pendapatannya merosot.

Terlebih, di Indonesia, tidak sedikit wilayah pedesaan yang topografi atau konturnya merupakan pegunungan. Dengan demikian, apabila pada saat terjadi hujan curah tinggi, dan tetap memaksakan untuk bekerja di kebun, letak dari tingginya titik resiko tersebut ada pada saat berada diluar rumah.

Hal tersebut yang mestinya menjadi dasar kesadaran kita semua sebagai masyarakat pedesaan untuk dapat merespon terhadap kemungkinan-kemungkinan kebencanaan yang akan terjadi. Hal itu merupakan bentuk mitigasi atau pencegahan. Mengingat memang dari tahun ke tahun tren bencana alam yang diakibatkan perubahan iklim semakin mengkhawatirkan.

Selain itu, dampak lainnya, Pranata Mangsa atau pengetahuan turun temurun yang dijadikan pedoman dalam tradisi jawa untuk menentukan kalender pertanian atau secara garis sebagai kalender untuk menggambarkan iklim dan kondisi alam mulai bergeser. Sehingga berkonsekuensi terhadap gagapnya respon desa atas kemungkinan beralihnya sumber-sumber kehidupan utama ke sumber-sumber kehidupan alternatif.

Bahwa, perubahan iklim yang tidak terkendali ini memang berkonsekuensi terhadap bagaimana pola adaptasi desa untuk meningkatkan daya tahan atau resiliensinya.

Gambaran lain dari meningkatnya fenomena perubahan iklim ini, bisa dilihat dari makin banyak dan beragamnya pemerintah mengalokasikan pendanaan dan merealisasikan dalam bentuk program-program umum maupun sektoral, untuk merespon perubahan iklim tersebut. Baik di lintas Kementerian, maupun lembaga terkait.

Respon pemerintah atau negara terhadap fenomena perubahan iklim ini terlihat cukup serius, yang kemudian direalisasikan kedalam kebijakan-kebijakan top-down atau kebijakan dari atas kebawah tersebut. Sebagaimana misal pada tahun 2024, salah satu kebijakan yang menyasar langsung ke desa seperti Peraturan Menteri Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi No. 7 Tahun 2023 tentang Rincian Prioritas Penggunaan Dana Desa. Didalamnya memandatkan rincian prioritas penggunaan dana desa untuk merespon perubahan iklim dan mitigasi-penanganan bencana alam di desa.

Tentu kebijakan top-down tersebut direspon oleh desa-perdesaan dalam bentuk prakarsa atau inisiatif yang salah satunya termuat dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Desa. Proses bagaimana prakarsa atau inisiatif desa tersebut merupakan upaya bottom-up atau dari bawah ke atas untuk melengkapi upaya-upaya menyeluruh dari respon terhadap perubahan iklim dan pencegahan-penanganan bencana alam.

Idealitas bagaimana respon pemerintah dengan masyarakat disini menjadi kunci untuk meminimalisir dampak kerugian akibat terjadinya perubahan iklim dan bencana alam yang akan terjadi dikemudian hari.

Tentunya, pergumulan tersebut harus mewujud menjadi kebijakan dan gerakan kolektif. Tidak hanya pada lingkup desa an sich melainkan antar desa dan antar wilayah sebagai satu-kesatuan yang membentuk kerangka sinergitas yang menyeluruh.

Dalam hal ini, penulis meyakini bahwa proses tercapainya idealitas tersebut bukanlah suatu hal yang mudah, terlebih saat ini masih banyak yang menganggap bahwa isu perubahan iklim ini hanya dibebankan pada sebagian kelompok atau kelas masyarakat atau kewilayahan tertentu.

Didalamnya harus melalui siklus perencanaan pembangunan di desa dan tingkatan-tingkatan berikutnya, hingga pada menyamakan visi dan misi di setiap lapisan masyarakat dan pemerintahan untuk mewujudkannya. Kedepan, menjadikan desa atau negara yang berhasil beradaptasi terhadap perubahan iklim

Sekali lagi, penulis meyakini, bahwa bumi ini sejatinya memang dijaga oleh desa-desa. Jika diibaratkan sungai, maka desa merupakan sumber atau hulu dari bentuk kearifan dan kebijaksanaan relasi antara masyarakat dengan sumber-sumber agraria (sumber daya alam). Lalu alirannya mengalir perlahan dan bertemu pada percabangan sungai yang berarti kesatuan visi misi antar desa atau antar wilayah. Dan, berakhir pada muara atau hilir yang berarti kesatuan visi dan misi dari setiap lapisan masyarakat dan tingkat pemerintahan yang ada. [*]

Kontributor : M. Izzudin, Pendamping Lokal Desa Kecamatan Dau Kabupaten Malang, untuk memperingari Hari Bumi 22 April 2024