Catatan Pendamping Desa #1
“Dalam adat budaya Jawa terdapat peribahasa yang berbunyi: desa mawa cara, negara mawa tata. Artinya: desa mempunyai adat sendiri, negara mempunyai hukum sendiri. Peribahasa ini agaknya muncul dari pandangan kalangan tradisional di Jawa yang menghargai pluralitas. Dimana masing-masing lingkungan wajar jika mempunyai adat-kebiasaan yang berbeda-beda.” ~ Iman Budhi Santosa.
Kala saya mulai turun ke desa, sebagai Pendamping Lokal Desa (PLD) di Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang, awal tahun 2022, ada banyak hal yang terungkap. Mulai dari sejarah, regulasi, masyarakat, peluang, ancaman, hingga relasi kuasa di desa.
Karenanya, ungkapan yang telah umum diketahui oleh orang-orang desa, baik masyarakat maupun pemerintahannya, dan pasti menjadi prinsip ‘lelaku’ bagi para pendamping desa: ‘desa mawa cara, negara mawa tata,’ sebagaimana catatan di atas, perlu penegasan pula. Bahwa garis kodrat desa, juga ‘beda desa beda cerita.’
Maka, yang muncul kemudian adalah ‘desa mawa cara, negara mawa tata, beda desa beda cerita.’ Berlebihankah? Sejatinya tidak. Pada kenyataannya memang demikian. Ketika turun di lapangan, baik untuk menghimpun data, menyampaikan perubahan-perubahan regulasi, sampai mencari alternatif terbaik untuk desa, antara satu desa dengan desa lainnya, penyikapannya pun berbeda-beda.
Misalnya, Ketika pertama kali saya diajak ke Desa Karangpandan, oleh TPP Pakisaji, yang memiliki ikon sebagai Desa Topeng Malangan. Akan berbeda dengan Desa Permanu, yang sebagian warganya memiliki kecenderungan pada tari topeng.
Berbeda dengan Desa Jatisari yang berada di barat sungai anak kali metro, berbeda cerita pula ketika berada di tengah Komunitas Jambe Klopo Doyong, Desa Genengan, yang berada di timur sungai. Lain cerita di Desa Wadung, lain pula kisah dari Desa Kebonagung. Dan, seterusnya dan seterusnya. Beda desa beda cerita.
Bagaimana kisahnya? Kiranya, masing-masing pendamping desa akan memiliki kisahnya sendiri. Saya tidak ingin memperpanjang-lebar hal demikian. Sedangkan nama desa yang saya sebutkan di atas, baru beberapa desa di Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang, tempat saya bertugas. Bagaimana dengan desa di tempat Anda? Di Kabupaten Malang hingga seluruh kisah Desa di Indonesia?
Sebagai PLD yang masih junior ketimbang pendamping desa lainnya di Kecamatan Pakisaji, secara khusus, saya pun masih ‘mbuntut’. Mengikuti arus air kemana ia mengalir, saya juga akan mengalir hingga kapan pun saya juga tidak akan pernah mengetahui kemana muara air ini akan bersandar.
Namun, setidaknya, pelajaran besar selama 6 bulan sebagai PLD, adalah sebuah kesempatan berharga untuk belajar, belajar, dan terus belajar. Sebagaimana dikatakan oleh Edy Wahyu Kurniawan, seorang Koordinator TPP Kecamatan Pakisaji, menjadi pendamping desa itu, seperti kuliah gratis.
Banyak tugas dan pelajaran yang tidak cukup hanya duduk manis, berdiskusi mungkin juga berdebat di ruang-ruang desa, tapi juga harus banyak membaca.
Ya, syarat mutlak bagi pendamping desa, adalah membaca. Baik membaca dengan makna membaca buku atau lewat ruang digital—baik untuk produk-produk regulasi maupun untuk meningkatkan kapasitas mandiri—juga membaca desa sebagai bentuk pengamatan dari berbagai sisi dan ruang lingkupnya yang kompleks.
Bagaimana hal itu, aktivitas membaca, tidak bisa dihindari? Selama perjalanan setengah tahun perjalanan ini, banyak produk hukum yang dilalui desa, baik dari pusat dan daerah, yang tidak bisa tidak untuk melibatkan pendamping desa. Dan harus dibaca dan dipahami.
Tidak cukup itu. Selain membaca dan memahami, juga harus diujikan kepada penerima dan pelaksana—misalnya tentang regulasi dana desa yang 20% dari anggaran tersebut diperuntukkan ketahanan pangan di desa—yang tidak lain adalah pemerintah desa.
Dari pengalaman selama ini, satu regulasi yang diterbitkan misalnya, tidak cukup satu kali untuk dibaca, dipahami, dan disampaikan serta menjadi pemahaman bersama. Tapi perlu membahasnya berulang kali hingga menjadi pemahaman seragam hingga bisa terlaksana sesuai harapan.
Seakan, pendamping desa juga bertugas menjadi penafsir terbaik dari aturan-aturan yang diterbitkan untuk mengatur desa. Membaca teks, menafisirinya, dan ‘didakwahkan’ kepada pemerintah desa untuk kemudian ditindaklanjuti.
Tapi demikian, serumit apapun regulasi untuk desa, tetap saja desa memiliki hukum ‘adat’ sendiri. Menerjemahkannya secara otodidak dan mendiskusikannya. Memiliki pakem untuk memfilter mana yang haq dan bathil. Dan akhirnya, ‘desa mawa cara, negara mawa tata, beda desa beda cerita.’ Wallahul Hadi. (*)
*)Royhan Rikza (Pendamping Lokal Desa Kecamatan Pakisaji Rekrutmen Desember 2021)
Leave a Reply